cerpen remaja
Buatan sendiri, maaf kalau ceritanya kurang menarik :)
“Pak
Ara tunggu, jangan tutup gerbangnya..” lariku
semakin cepat, mengejar waktu yang terus berjalan
detik demi detiknya. Dan jika langkah ku kalah
olehnya maka tamatlah riwayatku.
“Terima..kasih
pak, saya..berhutang budi ..pada pak Ara,” ujarku sambil memburu nafas.
“Kamu lagi, cepat! kelas sudah dimulai,” balas pak
Ara yang mungkin sudah bosan melihatku setiap pagi berlari untuk berlomba dengan waktu menuju gerbang sekolah.
Entah mengapa setiap pagi aku selalu saja terlambat masuk sekolah, padahal aku sudah berusaha bangun pagi namun tetap saja telambat, sehingga teman-temanku menjulukiku sebagai si ratu ngaret. Ya mungkin
ini kutukan yang aku dapatkan atau memang aku malas untuk berangkat pagi.
Entahlah itu masih menjadi misteri sampai sekarang. Walau pun aku dijuluki si
ratu ngaret, tetapi sahabatku malah sebaliknya. Dia selalu datang paling pagi
bahkan dia orang paling rajin dikelas. Sangat berbanding terbalik bukan dengan
kebiasaanku.
***
“Frey!! Kita ke
kantin yuk!” ajak Gia sambil merampas pensil yang sedang aku gunakan untuk
meulis pekerjaan rumahku yang lupa aku kerjakan dirumah.
“Ih sini
pensilnya sebentar lagi selesai nih,” kesalku merampas balik pensilku.
Lalu kami
menuju ke kantin sekolah untuk makan siang. Saat sampai disana Gia membisik ke
telingaku bahwa ada Trial yang sedang makan sendirian. Trial adalah laki-laki yang aku suka, dia seangkatan
denganku hanya saja dia XI-4 Jurusan MIPA. Aku sudah lama sekali suka padanya,
namun sampai sekarang aku dan dia hanya sebatas teman saja, mungkin cintaku
bertepuk sebelah tangan.
“Samperin yuk!”
Gia langsung menarikku tanpa menunggu persutujuan dariku.
Aku dan Gia
akhirnya duduk bersampingan dengan Trial, namun sepertinya Trial tidak
menyadari kehadiran kita berdua saking focus dengan
makanan dan headset yang dipakainya. Namun itulah yang aku suka darinya, dia selalu
terlihat tenang, bagiku dia seperti ice cream yang dalam diamnya terlihat cold,
dalam senyumnya terasa manis dan saat berbicara pun terdengar lembut. Dia yang
membuatku lebih dari sekedar suka, bisa dibilang aku sudah jatuh hati padanya.
Entah sampai kapan ini akan berakhir menjadi kisah “kita” namun aku percaya
suatu saat Trial akan melihatku.
“Hey! Jangan
mengkhayal saja,” suara Gia mengagetkanku.
“Eh, maksudnya?”
tak mengerti yang dikatakan Gia.
“Sudahlah,
pasti sedang mengkhayal tentang Trial ‘kan?” Ucapan Gia membuatku senyum-senyum
tak karuan. Untung saja Trial sudah pergi, jika tidak aku sudah malu.
“Jangan mulai Gi,”
jawabku dengan pipi seperti kepiting rebus.
“Iya.. iyaa,
sudah yuk! kita ke kelas lagi,”
Aku dan Gia pun
pergi meninggalkan kantin menyusul Trial yang sudah berjalan menuju kelasnya
yang kebetulan satu arah dengan kelasku. Sesampainya di kelas seperti biasa
selalu ada bunga mawar dan roti diatas mejaku. Hampir setiap jam istirahat
selalu saja ada. Namun sampai saat ini aku tak tahu siapa yang mengirimkannya
untukku. Dan telah tertera dalam secarik kertas “dari pengagum rahasia”. Aku
sangat penasaran. Aku pernah mencoba menyelidiki namun rupanya dia terlalu pintar
untuk menjadi pengagum rahasia si pemalas sepertiku.
***
Bel pulang
sudah berbunyi, ku putuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Aku ingin
membeli beberapa novel ditoko buku. Ya memang membaca novel adalah salah satu
hobiku yang membuatku lupa akan waktu. Sampai ibuku penah berniat untuk
membuang koleksi novel-novelku, namun untungnya aku sudah bekerja sama dengan Bu
Dija, asisten rumah tangga dirumahku untuk mengatakan bahwa Bu Dija saja yang
akan membuang novel-novelku, namun nyatanya, Bu Dija menyimpakkan novel-novelku
dilemarinya. Beliau memang paling mengerti aku.
Saat sampai ditoko
buku, aku bertemu dengan Ilham, salah satu sahabat dekatku. Aku sering
memanggilnya kakak karena memang dia terpaut satu tahun lebih tua dariku namun
seangkatan karena dia terlambat saat masuk sekolah dasar. Aku sangat dekat
sekali dengannya sampai ibu telah mempercayai kak Ilham untuk menjagaku dan
membatuku berubah dalam sikap maupun dalam pelajaran. Namun tetap saja rasa
malasku tak pernah terkalahkan.
“Kak Ilham.. “
sapaku sambil melampaikan tangan
“Oh,hay frey!
Lagi nyari novel apa lagi?” Tanya kak Ilham yang sudah tahu apa lagi yang akan
aku beli selain novel.
“Tahu saja kak,
kalau Freya mau beli novel,” aku hanya tersenyum
“Memangnya apa
lagi yang akan kamu beli ke toko buku selain novel,” ledek ka Ilham, yang aku
balas dengan juluran lidah tanda tak peduli. Kak Ilham hanya tertawa kecil.
“Bayarin yah!”
dengan wajah memaksa versiku
“Dasar gadis
doyan gratisan,” dipukul pelannya kepalaku yang aku balas tengan tawa kecil
Setelah
mendapatkan apa yang aku inginkan, kak ilham mengajakku untuk mencari tempat makan.
Kebetulan aku juga sudah merasakan cacing-cacing diperutku melakukan konser.
Setelah beberapa menit mencari tempat makan yang tepat, kami memutuskan makan direstaurant
seberang kompleks rumah kak ilham.
“Mau pesan apa
frey?” sambil melihat daftar menu.
“Samain aja deh!”
senyumku
“Oh ok, nasi
hitam sama jus melon 2 ya mbak!” ujar kak Ilham kepada salah satu pelayan
restaurant.
***
Setelah selesai
makan, kak Ilham mengantarkanku pulang. Padahal rumahku dan kak Ilham berbeda
arah, namun kak ilham sengaja ingin mengantarkanku dengan alasan langit sudah
mulai gelap tanda hujan akan turun, dan jika aku kehujanan maka dia tak enak
kepad ibuku. Maka dari itu aku terima tawaran kak Ilham. Namun ditengah
perjalanan hujan turun dan bertambah deras saja. Kami putuskan untuk berhenti
dan berteduh didepan toko yang sudah tutup sambil menunggu hujan reda.
“Nih pakai,
takutnya masuk angin!” kak ilham memberikanku jaket yang baru saja dilepasnya.
“Wah so sweet,”
senyumku sambil mengedip-ngedipkan mataku yang dibalas muka jijik kak Ilham.
Kami terhanyut dalam canda gurau dan lupa jika hujan sudah reda.
***
Lama-lama aku
merasa bosan, aku putuskan untuk keluar kamar dan mencari makanan didapur. Hari
ini aku tidak masuk sekolah karena tak enak badan. Kak Ilham merasa bersalah
dan terus mengirimiku sms kata maaf berulang-ulang, dia berfikir bahwa karena
dia aku sakit. Padahal aku sudah katakan itu bukan kesalahannya.
Aku keluar rumah
sebentar untuk menghirup udara segar, namun didepan pintu kamarku sudah
terdapat setangkai mawar dan boneka beruang serta secarik kertas bertuliskan
“Cepat sembuh ya, matahariku tak boleh sakit, jika kau sakit bunga mawar ini
tak akan bisa tumbuh tanpamu!”. Pasti ini dari pengagum rahasia itu lagi
gumanku dalam hati. Membuat penasaran orang saja. Ku simpan boneka itu bersama
barang-barang lainnya yang kudapatkan dari pengagum rahasia itu.
Kuputuskan
untuk menonton televisi saja karena aku sudah bosan mondar-mandir tak karuan
begini. Saat sedang asyik makan sambil menonton televisi, Gia datang dengan
nafas tersenggal-senggal seperti maling yang dikejar warga. Ternyata Gia
membawa kabar buruk untukku. Dadaku terasa sesak seperti tertimbun batu
beribu-ribu kg. aku hanya bisa terdiam tanpa kata.
“Sudahlah frey, ini sudah hampir 1 jam!” Gia
terus menenangkanku
“Tapi Gi, dia
pernah bilang kalau pacaran itu dosa dan dalam agama pun dilarang, terus kenapa
sekarang malah dia makan omongannya sendiri,” kesalku semakin menjadi
“Mungkin kita salah
tentang dia Frey, sudahlah!”
Aku hanya tak
menyangka saja, dulu saat ada teman yang sekelas dengannya menyatakan suka
padanya dia bilang “jika kamu mencari pacar, jangan datang padaku. Tapi kalau
mencari teman, aku terbuka untuk siapa saja”. Namun nyatanya sekarang dia
menyukai seseorang dan bahkan dikabarkan mereka telah pacaran. Sekarang
kuputuskan untuk mencoba melupakannya, meski aku rasa itu cukup sulit karena
aku sudah lama sekali menyukai Trial bahkan dari aku masih duduk dibangku
sekolah menengah pertama.
***
Minggu pagiku
dibangunkan oleh hangatnya cahaya mentari yang masuk lewat sela-sela tirai
dikamarku. Pagi ini entah kenapa aku ingin sekali lari pagi dan kebetulan aku
sudah lama tidak lari pagi karena satu alasan dan hanya satu-satunya alasan
yang selalu aku pakai yaitu “malas”. Namun entah kebetulan atau memang takdir
saat aku sedang asyik berlari, tiba-tiba handuk kecilku jatuh dan saat akan
mengambilnya sudah ada tangan yang memegang handukku. Segera ku tengok siapa
pemilik tangan itu, dan betapa kagetnya aku sampai aku duduk terjatuh.
“Oh maaf, ini
punyamu?” sambil menjulurkan tangannya untuk membantuku
“Hmm..terimakasih,”
senyumku kaku dengan wajah tak percaya
“Freya ‘kan?” aku
terkejut karena Trial tahu namaku
Dalam hatiku
penuh tanya apa dia benar-benar mengenalku, terkenalkah aku disekolah? Atau dia
tahu semua nama satu sekolah. Entahlah aku tak peduli lagi.
“Hallo, ada
orang disini!”
Aku hanya
terdiam dan lari begitu saja meninggalkan Trial yang heran akan tingkahku. Aku
sudah tak peduli lagi apa yang akan dipikirkan Trial tentangku. Mungkin dia
akan berpikir aku adalah perempuan yang aneh yang pernah ia temui.
***
Setelah
pertemuanku dan Trial kemarin, entah kenapa aku dan Trial selalu saja bertemu
bahkan kami sering mengobrol, entah itu tentang pelajaran sekolah ataupun yang
lainnya. Kedekatan ini membuatku semakin menyukainya dan membuatku lupa akan
niat untuk melupakannya, ditambah lagi soal Trial mempunyai pacar hanya berita
burung saja. Namun diluar itu aku juga sangat dekat sekali dengan kak ilham
sehingga teman-temanku menganggap aku dan kak ilham itu pacaran. Namun untuk
sekarang aku sangat senang dan nyaman bersama Trial.
Siang ini
setelah pulang sekolah aku dan Trial berencana untuk membeli buku matematika edisi
kumpulan soal-soal UN. Aku sangat senang karena ini kesempatanku untuk jalan
berdua dengannya. Namun tiba-tiba saja ada yang memanggil Trial, seorang
perempuan cantik yang aku rasa bukan dari sekolah ini.
“Trial!!”
panggilnya sambil melambaikan tangan
“Oh hai Vi!”
balas Trial ramah
Aku hanya tersenyum
dengan pikiran yang penuh dengan tanda Tanya. Siapa perempuan ini? Apa dia
kenal Trial? Apa mereka dekat? Apa yang aku tidak tahu tentang mereka?
“Ada apa sampai
datang ke sekolah?” lanjut Trial
“Aku disuruh
ibu untuk menjemputmu,”
Apa yang dia
katakan “ibu” bahkan ibunya Trial saja dia panggil ibu, sedekat itukah mereka?
hatiku sudah mulai panas. Oh tuhan aku ingin lari sejauh-jauhnya. Aku sangat
marah pada diriku sendiri. Kenapa aku mudah sekali terbawa suasana dan akhirnya
malah mendapat ampas dari rasa percaya diriku bahwa Trial juga menyukaiku. Namun
pada akhirnya aku dan Trial tidak jadi
pergi ke toko buku.
***
Ujian sekolah
sudah semakin dekat, persiapanku sudah matang untuk menghadapi pertarungan yang
sudah aku dan teman-teman lainya tunggu selama 3 tahu belajar disekolah ini. Aku
yakin aku akan mendapatkan nilai yang memuaskan karena aku sudah mengorbankan
waktu malamku untuk belajar sampai larut malam sekali. Semua ini karena Trial
yang telah membantuku dalam memahami pelajaran, dan penyemangatku tentunya.
Setelah acara
perpisahan sekolah aku langsung pulang ke rumah karena aku harus packing
barang-barangku yang akan aku bawa ke Bandung. Namun akhir-akhir ini aku sangat
merasa aneh melihat tingkah Gia, sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu
tetapi ia ragu untuk mengatakannya. Namun aku tak terlalu memikirkannya. Aku
dan Gia untuk kali ini berbeda universitas, karena dia memilih UGM dan aku
memilih ITB untuk melanjutkan menggapai mimpi-mimpi kami.
Setelah satu
tahun acara perpisahan itu akhirnya aku bisa bertemu dengan sahabatku, kami memutuskan bertemu dicaffe tempat
biasa kita nongkrong saat masa SMA
dulu. Sangat lama kami mengobrol sambil bercanda gurau, dan obrolan kami
terpotong saat Gia ingin pergi ke toilet. Saat Gia pergi, handphone Gia
berbunyi tanda line masuk. Saat ku lihat siapa pengirimnya aku terkejut
bagaikan ada petir yang menyambarku tiba-tiba. Tak pernah terpikir, tak pernah
terbayangkan kejadian ini menimpaku. Mengapa harus padaku? Rasanya aku ingin
berteriak sekencang-kencangnya sampai suaraku hilang seperti kepercayaan yang
telah aku berikan kepada Gia, sahabatku. Aku hanya bisa berlari, aku ingin
marah ingin rasanya aku berteriak pada dunia bahwa ini begitu menyakitkan.
***
Gia terus menerus datang ke rumahku dan
meminta maaf, dia menangis didepan pintu kamarku. Aku tak tahu harus bagaimana,
aku bingung, kecewa. Mengapa Gia tak jujur kepadaku, bahwa sebenarnya gadis
yang disukai Trial saat SMA adalah dirinya. Jika dia jujur dari awal aku pasti
perlahan akan mengikhlaskan Trial untuknya.
“Frey maafkan aku, aku sungguh minta maaf
Frey,” isak Gia dari luar pintu kamarku
Aku tak tega mendengar Gia terus merasa
bersalah terhadapku, aku tahu Gia tak bermaksud menyakitiku, aku juga tahu
bahwa perasaan itu datang mengalir seperti aliran sungai yang pada akhirnya
bermuara ke laut.
***
Akhirnya aku memahami Gia, dan Gia pun
telah jujur padaku bahwa pada awalnya Gia tak tahu bahwa Tril selama ini
menyukainya hingga pada acara perpisahan itu Trial memberikan kancing baju
keduanya kepada Gia. Trial mengira Gia yang suka padanya bukannya aku. Pantas
saja saat setelah acara perpisahan Gia bertingkah aneh. Aku sudah mengikhlaskan
mereka untuk bersama walau awalnya aku masih diam-diam menangis saat melihat
mereka berdua bersama. Pada akhirnya aku sudah tak peduli lagi tentang
laki-laki, sekarang aku hanya fokus untuk kuliahku. Namun aku harus berterima
kasih, karena dengan kejadian ini aku banyak belajar bahwa cinta tak bisa hanya
dengan satu pihak saja, dan terkadang kita butuh pengorbanan untuk bisa
membahagiakan orang lain karena berkorban untuk orang lain menurutku lebih
bahagia. Tetap saja rasa sakit ini susah sekali hilang meski sudah berusaha.
***
Kuputuskan untuk menerima lamaran dari
laki-laki pilihan ibuku. Walau aku tak pernah mengenal dan bertemu dengannya
tapi aku yakin, ibu telah memberikan yang terbaik untukku. Mungkin ini adalah
jodoh yang terbaik yang diberikan Allah untukku. aku akan mencoba untuk mulai
mencintainya seperti aku mencintai Trial dulu.
“Frey, kamu baik-baik saja?” tanya Gia
mengkhawatirkanku
“Aku tak apa Gi,” senyumku mencoba untuk
membuat Gia tidak khawatir
“Ya sudah, kamu siap untuk keluar?”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk,
jantungku terus berdegup kencang. Ku mulai melangkahkan kakiku menuju pintu dan
hanya tertunduk dan berjalan menuju ibu dan ayahku. Dan didepan sudah duduk
para pengantar dari calon suamiku. Saat aku mengangkat kepalaku betapa
terkejutnya aku saat ku tahu siapa calon suamiku. Mungkinkah dia adalah si
pengagum rahasiaku.
“Kak ilham?” Dia hanya tersenyum melihat
ekspressi wajahku yang penuh rasa tak percaya.